
KOMISIONER KPU Idham Holik mengatakan pihaknya menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 104/PUU-XXIII/2025 yang menetapkan Bawaslu berwenang memutus pelanggaran administrasi Pilkada. Ia mengatakan putusan MK tersebut telah mempertegas prinsip berkepastian hukum.
"Merujuk pada penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2011, KPU menghormati Putusan MK, karena bersifat erga omnes, di mana putusan MK bersifat final dan memiliki kekuatan hukum tetap sejak diucapkan," kata Idham kepada Media Indonesia, Kamis (31/7).
Beda Ketentuan?
Idham mengakui selama ini terdapat perbedaan ketentuan mengenai kewenangan Bawaslu dalam menangani dugaan pelanggaran administrasi dalam Pemilu yang termuat dalam Pasal 460-Pasal 465 UU Nomor 7 Tahun 2017 dengan Pilkada yang termuat dalam Pasal 139 dan Pasal 140 UU Nomor 1 Tahun 2015. Ia mengatakan melalui Putusan MK tersebut dan dalam konteks prinsip berkepastian hukum, MK mensikronisasi antara regulasi Pemilu dengan Pilkada.
Ia mengatakan putusan MK Nomor 104/PUU-XXIII/2025 bukanlah pendapat baru MK. Pada 2022, dalam pertimbangan hukum dalam Putusan MK No. 85/PUU-XX/2022, khususnya halaman 40, MK telah menegaskan bahwa tidak ada lagi perbedaan rezim hukum antara Pemilu dan Pilkada.
Revisi UU?
Idham mengatakan dengan adanya putusan MK soal kewenangan Bawaslu memutus pelanggaran administrasi Pilkada, pembentuk UU dapat segera merevisi UU Pilkada. Selain itu, KPU juga segera merevisi Peraturan KPU dan Bawaslu segera merevisi Peraturan Bawaslu terkait penanganan dugaan pelanggaraan administrasi dalam Pilkada.
"Terkait hal tersebut, saya akan mengusulkan agar KPU segera merivisi norma Pasal 5 ayat (1) PKPU No. 15 Tahun 2024 dengan mensesuaikannya dengan Putusan MK tersebut. Norma Pasal 5 tersebut yaitu berbunyi sebagai berikut: KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota melakukan Rapat Pleno berdasarkan Telaah Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) untuk memeriksa dan memutus tindak lanjut Pelanggaran Administrasi Pemilihan," katanya.
Sebelumnya, MK menyatakan Bawaslu memiliki kewenangan untuk memutus pelanggaran administrasi dalam penyelenggaraan Pilkada. Selama ini menempatkan peran Bawaslu dalam Pilkada hanya sebatas memberikan rekomendasi tanpa kekuatan hukum mengikat.
Isi Putusan?
Penegasan tersebut tertuang dalam Putusan MK Nomor 104/PUU-XXIII/2025. Mahkamah menyatakan frasa “rekomendasi” dalam Pasal 139 UU No 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada) bertentangan dengan UUD 1945, dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai sebagai “putusan”.
Dalam amar putusannya, Mahkamah juga menyebut frasa “memeriksa dan memutus” yang selama ini menjadi wewenang Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam menindaklanjuti rekomendasi Bawaslu harus dimaknai menjadi “menindaklanjuti putusan”. Artinya, hasil pengawasan Bawaslu dalam perkara pelanggaran administrasi Pilkada, kini dianggap sebagai putusan yang bersifat final dan mengikat, bukan lagi sebagai masukan atau saran (rekomendasi). (Faj/P-3)