
MEMASUKI tahun ke-12 penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) berbagai capaian sudah diraih Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Konsep gotong-royong yang menjadi fondasi pembiayaan telah memberikan berbagai manfaat kepada masyarakat bahkan bisa menjadi contoh negara-negara lain.
Tahun ini, BPJS Kesehatan masuk dalam nominasi Nobel Peace Prize 2025. Direktur Utama BPJS Kesehatan Ghufron Mukti mengatakan BPJS Kesehatan merupakan satu bentuk gotong-royong yang sempat diteliti oleh Harvard pada Mei 2025. "Hubungannya tentang nilai gotong-royong. Jadi nilai gotong-royong yang bisa dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Banyak negara itu jarang yang dalam waktu setahun bisa mencapai Universal Health Coverage (UHC). Sementara Indonesia bisa," kata Ghufron di Jakarta, Kamis (9/10).
“Yang dulu orang miskin, itu tidak aman, tidak damai karena orang miskin dulu disebut dilarang sakit. Tapi sekarang orang miskin kalau sakit dan berobat dilarang bayar asal menjadi peserta aktif,” sambungnya.
NOMINASI NOBEL
Ia menyebut masuknya BPJS Kesehatan dalam nominasi penghargaan tertinggi ini melalui tahap penilaian dan seleksi oleh tim ajang penghargaan tersebut yakni dari Komite Nobel Norwegia.
"Timnya itu yang menyeleksi, yang mengusulkan, dan menilai, ngecek gitu. Dulu ratusan jumlahnya, sekarang tinggal 224 (individu), kalau nggak salah. Terus kategori organisasi ini ada 94 dan BPJS Kesehatan masuk di dalamnya. Besok itu pengumuman finalnya," ungkapnya.
Koordinator Advokasi Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Watch Timboel Siregar menilai terpilihnya BPJS Kesehatan masuk dalam nominasi Nobel Peace Prize 2025 merupakan capaian yang luar biasa dan bisa menjadi contoh negara lain.
KUNCI KEBERHASILAN JKN
Kepala Humas BPJS Kesehatan, Rizzky Anugerah menjelaskan bahwa keberhasilan Program JKN selama lebih dari satu dekade merupakan buah kolaborasi yang solid antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, sektor swasta, tenaga medis, lembaga pengawas, hingga masyarakat itu sendiri. “Implementasi Program JKN tidak hanya dijalankan oleh BPJS Kesehatan. Ada begitu banyak pihak yang terlibat, baik secara langsung maupun di balik layar,” ujar Rizzky.
Ia menyebut dari hulu hingga hilir, penyelenggaraan Program JKN melibatkan banyak instansi dengan peran yang berbeda-beda namun saling melengkapi. Dari sisi kepesertaan misalnya, ada Kementerian Sosial (Kemensos) yang berperan mendata masyarakat tidak mampu untuk ditetapkan sebagai peserta Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI JK). Data tersebut kemudian diserahkan kepada Kementerian Kesehatan (Kemenkes), yang mendaftarkan dan menyalurkan pembayaran iuran peserta ke BPJS Kesehatan. Setelah terdaftar, masyarakat miskin dan rentan dapat langsung memanfaatkan layanan kesehatan tanpa terbebani biaya.
"Sementara itu, bagi kelompok pekerja, ada peran penting dari pemberi kerja. Mereka bertugas mendata, mendaftarkan, dan membayarkan iuran para pekerjanya ke BPJS Kesehatan sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini mencerminkan bahwa sektor dunia kerja juga menjadi bagian dari keberlangsungan Program JKN," kata Rizzky.
PENDANAAN PEMERINTAH
Dari sisi pendanaan, peran pemerintah menjadi faktor kunci dalam menjaga sistem JKN tetap berjalan. Pemerintah pusat menanggung iuran bagi peserta Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI JK), sementara pemerintah daerah turut berkontribusi dengan membayarkan iuran bagi peserta dari segmen Pekerja Bukan Penerima Upah Pemerintah Daerah (PBPU Pemda). Untuk segmen peserta lain iuran dibayarkan mandiri atau bagi pekerja oleh pemberi kerja.
PERAN TENAGA DAN FASILITAS KESEHATAN
Rizzky juga menyampaikan, keberhasilan JKN juga sangat bergantung pada fasilitas kesehatan. Mulai dari Puskesmas, klinik hingga rumah sakit, semuanya memiliki peran vital dalam memberikan layanan kepada peserta. Selain itu, dokter, perawat, dan bidan juga turut ambil peran guna memastikan pelayanan berjalan dengan baik. Dukungan dari industri farmasi dan alat kesehatan juga tak kalah vital untuk menjamin ketersediaan obat dan perlengkapan medis bagi masyarakat. Tidak berhenti sampai di situ, untuk menjaga agar seluruh proses berjalan transparan dan akuntabel, berbagai lembaga pengawas juga ikut berperan aktif.
KEPASTIAN BAGI PASIEN
Program JKN yang dikelola BPJS Kesehatan, menerapkan sistem pembayaran ke fasilitas kesehatan yaitu dengan kapitasi dan Indonesia Case Based Group (INA-CBG). Ketua Umum Ikatan Ekonom Kesehatan Indonesia Hasbullah Thabrany menuturkan sebelum ada Program JKN, sebagian besar rumah sakit di Indonesia menggunakan sistem fee for service, yaitu metode pembayaran dengan biaya pelayanan ditetapkan setelah pasien menerima layanan kesehatan. "Jika hal tersebut diterapkan dalam Program JKN tentu tidak akan efektif dan efisien,” ujar dia.
Selain itu, Hasbullah mengungkapkan tidak adanya standar tarif menyebabkan ketidakpastian biaya bagi pasien. Untuk itu, kata dia, diterapkan kapitasi dan INA-CBG, tujuannya untuk melindungi pasien supaya tidak diberikan pelayanan yang sebetulnya tidak perlu.
PERLU DISEMPURNAKAN
Menanggapi anggapan yang menilai tarif paket INA-CBG belum mencukupi kebutuhan biaya pelayanan di rumah sakit, Ketua Umum Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) drg. Iing Ichsan Hanafi menegaskan bahwa sistem pembayaran berbasis kasus tersebut sejatinya telah berjalan baik dan terus disempurnakan bersama pemerintah serta BPJS Kesehatan.
”Sistem INA-CBG sudah menjadi mekanisme yang diterima dan dipahami dengan baik di kalangan fasilitas kesehatan. Mayoritas pasien di rumah sakit swasta saat ini adalah peserta BPJS Kesehatan. Oleh karena itu, revenue rumah sakit sangat bergantung pada klaim INA-CBG,” ujar Ichsan. (Iam/H-4)