
KEMENTERIAN Agama terus menggaungkan kampanye Gerakan Sadar Pencatatan Nikah sebagai upaya untuk mencegah perkawinan anak yang kerap menimbulkan permasalahan sosial serta demi memberi perlindungan kepada perempuan dan anak.
"Pernikahan yang tercatat bukan hanya sah secara hukum negara, tetapi juga menjamin perlindungan bagi perempuan dan anak. Kesiapan menikah bukan soal usia, tapi kematangan tanggung jawab," ujar Kepala Subdirektorat Keluarga Sakinah Kemenag RI Zudi Rahmanto dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (17/10).
Pernyataan Zudi tersebut disampaikan saat Talkshow Stop Pernikahan Anak dan Gas (Gerakan Sadar) Pencatatan Nikah yang digelar Kementerian Agama di arena utama STQH Nasional XXVIII di Kendari, Sulawesi Tenggara.
Acara Talkshow tersebut menghadirkan dua tokoh nasional yakni Husein bin Ja'far Al-Hadar (Habib Ja'far) dan Alissa Wahid. Peserta yang berasal dari siswa madrasah turut antusias mengikuti acara tersebut.
Zudi mengatakan isu pencegahan pernikahan anak kini menjadi bagian penting dalam pembangunan beragama yang maslahat. Melalui kerja sama dengan madrasah, pesantren, dan komunitas pelajar, Kemenag terus memperkuat bimbingan perkawinan (Bimwin) dan literasi keluarga. "Kalau keluarga kuat, masyarakat juga kuat. Dan kalau masyarakat kuat, negara akan kokoh," kata dia.
Sementara itu, Habib Ja'far menjelaskan konsep berpasangan dalam Alquran sebagai nilai universal yang menegaskan bahwa manusia tidak
diciptakan untuk hidup sendiri.
"Karena Alquran ngajarin begitu, bahwa ketika kita menikah, itu adalah berpasangan. Bahkan berpasangan itu tidak cuma antara suami dan istri, tapi juga antarteman dan sahabat. Kita harus saling menguatkan dan melengkapi," ujarnya.
PENTINGNYA KOLABORASI
Ia melanjutkan konsep azwajan dalam Alquran mengajarkan bahwa kehidupan sosial manusia dibangun atas dasar saling membutuhkan. Habib Ja'far juga menekankan pentingnya kolaborasi dan gotong royong dalam kehidupan sosial. "Kalau temannya beda agama, bekerja sama lah dalam kebaikan. Kalau satu agama, bekerja sama lah dalam ketakwaan," kata dia.
Ia kemudian mengaitkan nilai berpasangan dengan konsep mitsaqan ghaliza dalam pernikahan. Menurutnya, jika salah satu pihak berbohong, menyakiti, atau mengkhianati, maka hal itu sama saja dengan mengkhianati Allah.
Nilai kejujuran dan tanggung jawab, kata Habib, bukan hanya penting dalam hubungan suami-istri, tetapi juga dalam pertemanan dan kehidupan sosial.
Alissa Wahid mengungkapkan latar belakang lahirnya Tepuk Sakinah, sebuah gerakan edukatif yang merangkum lima pilar penting bagi keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah, yaitu berpasangan, janji yang kokoh, saling cinta dan menjaga, saling ridha, serta musyawarah.
Ia menjelaskan banyak perkawinan gagal karena tidak kuat di lima pilar tersebut. "Sering kali mereka lupa bahwa ijab kabul itu disaksikan oleh
Allah. Ketika cinta memudar, mereka langsung berpikir untuk berpisah. Padahal, janji itu adalah mitsaqan ghaliza, yakni janji yang kokoh," kata dia.
Menurut Alissa, nilai-nilai dalam Tepuk Sakinah perlu ditanamkan sejak remaja agar mereka memahami makna sakinah sebelum memasuki pernikahan. Ia menambahkan Tepuk Sakinah juga menjadi sarana edukatif untuk menghadapi tren media sosial yang sering memandang pernikahan secara negatif.
"Sekarang banyak yang bilang marriage is scary, takut menikah karena trauma atau melihat banyak perceraian. Padahal, kalau lima pilar ini
dijaga, Insya Allah perkawinan akan membawa kedamaian dan rahmah," ujarnya. (Ant/E-2)